Kategori: Uncategorized

  • Sejarah ekonomi Tiongkok (1949–sekarang)

    Sejarah ekonomi Tiongkok (1949–sekarang)

    Proses pembuatan kebijakan ekonomi di Tiongkok  sudah cukup berubah. Pada awalnya kebijakan ekonomi di Cina tertutup dan sangat disetir oleh negara yang mana dalam hal ini adalah Partai Komunis Cina. Pertimbangan yang digubris hanya berasal dari kalangan pemerintah dan tidak berdasarkan kebutuhan pasar  Perubahan orientasi Cina yang menjadi lebih terbuka pada pasar baru terjadi setelah terjadinya reformasi ekonomi di masa Deng Xiaoping. Deng Xiaoping dalam reformasi yang melakukan restrukturisasi dalam sistem ekonomi negara China.

    Cina dalam proses pembuatan kebijakan terkenal dengan proses birokrasi yang terfragmentasi dan harus membuat sebuah konsensus dasar. Konsensus dasar ini menurut Tony Saich dalam bukunya dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu tawar menawar dan negosiasi. Tawar menawar dan negosiasi menjadi faktor penting mengingat Cina adalah negara yang otoriter. Kebijakan yang dikeluarkan harus disukai dan disetujui oleh pemimpin negaranya. Meskipun memang proses tawar menawar dan negosiasi akan berlangsung cukup lama dan panjang. Hal ini karena banyak petinggi Partai Komunis Cina yang tidak bisa menyambut perbedaan pandangan di dalamnya. Padahal Cina berusaha untuk lebih terbuka dalam ekonominya maka negosiasi ini ditujukan agar para petinggi tersebut dapat setuju. Dengan adanya dua faktor tersebut juga memudahkan agar bisa terlibatnya pihak lain seperti akademis,praktisi ekonomi,think-tanks dan sebagainya dalam pembuatan kebijakan. Di samping itu dalam prosesnya kebijakan tersebut dibuat agar bisa fleksibel dalam implementasinya. Kebijakan tersebut harus bisa diterapkan dimana saja mengingat wilayah geografi negara Cina yang luas.

    Kebijakan yang diambil oleh pemerintah Cina saat ini dapat dikatakan sukses dalam implementasinya. Melihat sejak reformasi ekonomi pada tahun 1978, Cina banyak mengalami kemajuan dalam sektor ekonomi . Salah satu bentuk kebijakan ekonomi Cina adalah mereka memiliki five year plan. Itu merupakan sebuah panduan dan tujuan ekonomi Cina yang akan diraih dalam jangka waktu lima tahun. Di dalam five year plan tersebut terdapat beberapa sektor yang dilakukan modernisasi seperti

    • Agrikultur
    • Industri
    • Edukasi

    Banyak hal lain yang diimplementasikan Cina di dalam rancangan tersebut. Dapat dilihat kebijakan tersebut menyeluruh ke banyak sektor yang terkait. Bahkan Cina merespon era globalisasi dengan adanya kebijakan cyber economy. Implementasi kebijakan ekonomi Cina yang juga dianggap berhasil adalah dengan bergabungnya Cina ke dalam WTO. Masuknya Cina ke WTO memiliki dampak yang besar bagi Cina. Seperti bisa bekerja sama dengan regional lain dan terjadinya pertumbuhan di sektor ekonomi baru yaitu di bidang teknologi dan industry servis.

    Gradualisme sebagai Strategi Transisional

    Terdapat perbedaan besar antara reformasi bertahap Tiongkok dibandingkan dengan ekonomi transisi negara lainnya, khususnya Rusia dan persemakmuran negara-negara merdeka, bekas uni soviet. Di negara-negara tersebut, para ekonom menyarankan para pemimpin untuk mengadopsi Big-Bang atau pendekatan shock therapy. Kondisi dimana institusi pasar dan privatisasi ekonomi terjadi sekaligus. Dimana, hal ini sangat berdampak bagi banyak perusahaan dan pelaku ekonomi. Akibatnya terjadi penurunan output yang sangat besar selama hampir 10 tahun. Butuh hampir satu dekade bagi negara-negara ini untuk pulih dan mencapai pertumbuhan positif. Berbeda dengan negara-negara tersebut, China tingkat pertumbuhan ekonominya terus menunjukan positif dan relatif tinggi.

    Gradualisme merupakan sistem yang bersifat evolusioner. Artinya, transformasi ekonomi harus dilakukan secara bertahap, termasuk dalam hal liberalisasi dan privatisasi. Beberapa strategi China yang memudahkan proses transisi, diantaranya:

    • Memiliki struktur ekonomi yang cukup sederhana dan terdesentralisasi
    • China memberi semua pemimpin pemerintahan di setiap tingkatan insentif yang kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui jenis-jenis insentif yang disesuaikan.
    • Para pemimpin lokal diizinkan untuk memimpin dalam mendirikan perusahaan, baik perusahaan yang terdapat di sentral maupun yang dikelola desa.
    • China mengejar strategi keunggulan komparatif dan mulai membuka diri ke dunia luar.

    Terdapat sejumlah komponen penting dalam strategi reformasi China. Salah satunya ialah China berkomitmen untuk membuka pasar dan menunda proses privatisasi jauh di kemudian hari dalam proses reformasi. Sistem ini dilakukan China secara bertahap. Pada awalnya, sebagian besar perusahaan menghadapi kedua komponen yang direncanakan dari produksi mereka yang diarahkan oleh pemerintah, semua perusahaan bebas untuk membuat strategi demi mencapai target dan keuntungan di pasar. Dengan memiliki komponen yang direncanakan, pemerintah dapat secara implisit terus mensubsidi perusahaan dan membuat pihak mereka tidak khawatir bahwa reformasi akan merugikan mereka. Hal tersebut berdampak pada mengurangi oposisi mereka terhadap reformasi, win-win strategy.

    Kebijakan Agrikultur

    Sektor agrikultur/pertanian merupakan salah satu sektor yang mendapat dampak yang cukup besar dari reformasi Deng Xiaoping. Reformasi pertanian sendiri merepresentasikan sebuah perubahan besar dan awal yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Disaat kematian Mao Zedong, daerah-daerah pedesaan di China diatur dalam sebuah komune. Kedudukan dari komune ini sendiri adalah sebuah organisasi ekonomi tertinggi di daerah pedesaan dan berada di level dasar pemerintahan setempat. Dibawah komune, terdapat brigade produksi (production brigades) dan the teams. Bagi para petani, the teams merupakan struktur yang paling penting karena mereka lah yang menentukan keputusan final terkait dengan produksi barang dan distribusi pendapatan sesuai dengan akumulasi poin kerja. Sistem komune lama memberikan kontribusi kepada perencanaan pusat, produksi skala besar dan distribusi terpadu dalam kebijakan pedesaan.

    Ketika Revolusi Budaya ingin menjadikan sistem komune ini menjadi level yang lebih maju lagi, Reformasi pada tahun 1980-an justru mengembalikan kuasa tanah pertanian dan segala aktivitas pertanian ke tangan individu rumah tangga. Reformasi memandang bahwa sistem komune tidak akan memberikan keuntungan yang lebih baik kepada masyarakat China, tapi menghancurkan kehidupan masyarakat itu sendiri. Kebijakan pasca Mao lebih berupaya mendorong sektor produksi pertanian dengan meningkatkan harga pengadaan dan memodernisasikan sektor pertanian melalui brigade dan tim pembiayaan. Disaat yang sama, kebijakan di daerah-daerah juga diberi kelonggaran untuk menggunakan “law of comparative advantage” (Hukum keunggulan komparatif). Bidang tanah pribadi dan produksi sampingan juga ditekan sebagai peran penting untuk pertumbuhan agrikultur. Private market (pasar swasta) dibiarkan sebagai pasar untuk petani atau orang desa menjual produk-produk mereka.

    Pada tahun 1978, harga pengadaan terhadap kuota gandum ditingkatkan dengan rata-rata 20%, diatas kuota gandum 50%, dan kapas 30%. Dampaknya pun cukup signifikan kepada kehidupan petani. Kebanyakan petani pada saat itu berubah kehidupannya dan berhasil keluar dari kemiskinan. Hasil dari kebijakan ini untuk meningkatkan pengeluaran negara di sektor pertanian. Menteri keuangan dan pemerintah provinsi mulai menghabiskan sekitar 1 miliar yuan per tahun untuk mensubsidi suplai gandum di daerah pedesaan. Sebuah strategi yang baru tetap harus dicari untuk meningkatkan pemasukan dari sektor pertanian, melakukan modernisasi yang tidak meningkatkan investasi negara secara signifikan.

    Salah satu kebijakan signifikan yang diterapkan dalam sektor pertanian adalah sistem tanggung jawab rumah tangga (household responsibility system). Sistem ini sendiri diperkenalkan pada tahun 1978 namun perubahan yang signifikan terjadi pada tahun 1980. Dalam sistem ini, keluarga petani tidak lagi bekerja sama dalam suatu komune, melainkan melakukan perjanjian dengan pemerintah administratif setempat untuk mengerjakan sebidang tanah dan mendapatkan keuntungan langsung. Sehingga melalui sistem ini, masyarakat mendapatkan upah yang cukup. Sistem ini memperbolehkan petani untuk mengolah tanahnya sendiri. Sehingga pengambilan keputusan dipercayakan kepada masing-masing individu dan kebijakan-kebijakan kolektivisasi dari pemerintah dihapuskan di pedesaan.

    Kurangnya keamanan di sekitar penguasaan lahan menyebabkan adanya peningkatan lebih lanjut dalam panjang kontrak. Sistem kontrak rumah tangga sendiri membuat rumah tangga petani di desa menjadi pusat dari produksi pertanian, yang bekerja dalam penguasaan lahan dalam periode waktu yang spesifik. Kontrak ini meliputi semua bahan mentah dan faktor produksi kecuali hak penggunaan lahan dan hak akses ke fasilitas irigasi. DI tahun 1993, terdapat perpanjangan masa kontrak menjadi 30 tahun yang dikonfirmasi dalam Hukum Pengelolaan Tanah (1998) dan Hukum Kontrak Tanah Desa. Dua hukum ini juga melindungi petani terhadap perampasan tanah secara ilegal oleh pejabat setempat yang kemudian dijual untuk pengembangan komersial, selagi memberi kompensasi yang tidak cukup bagi petani. Petani diberi wewenang untuk mengalihkan penggunaan lahan dan memperoleh pendapatan dari penggunaannya. Sementara otoritas lokal dilarang merevisi kontrak atau menyita tanah selama periode kontrak. Aturan ini menggambarkan sebuah langkah masif kedepan dalam pengakuan terhadap petani. Secara jelas, tujuan dari reformasi ini adalah untuk meningkatkan distribusi dari komoditas dan menghargai usaha dari produsen itu sendiri. Kebijakan ini diharapkan akan mendorong petani yang lebih kaya untuk menginvestasikan kembali modal dan tenaga kerja dalam tanahnya. Kebijakan sistem pembelian kontrak ini dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan hubungan antara negara dan petani dan hubungan antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan.

    Kebijakan Industri

    Dalam reformasi ekonomi di sektor industri, Cina mengambil langkah bertahap yang dinilai cukup besar dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi Cina. Reformasi industri juga menjadi tantangan besar bagi pemerintahan pusat mengingat bahwa dengan dilakukannya reformasi itu berarti melakukan perubahan sistem yang mendasar yang telah ditetapkan oleh elit politik PKC dengan kepentingan yang dibawa.

    Pemerintah menilai reformasi perlu dilakukan karena adanya beberapa masalah yang timbul dan menjadi akar penyebab Cina tetap tertinggal perekonomiannya dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Timur seperti Korea Selatan dan Jepang. BUMN yang dianggap penting pada masa pemerintahan Mao Zedong nyatanya menjadi salah satu perusak aset bersih negara sedangkan perusahaan swasta yang jauh lebih produktif mengalami kekurangan modal serta sistem perekonomian yang terpusat cenderung menyampingkan sektor swasta. Dalam keputusan tentang reformasi struktur ekonomi pada Oktober 1984 mencatat bahwa dalam masalah ekonomi industri, cacat pada sektor ekonomi perkotaan secara serius menghambat perkembangan kekuatan produksi industri. Hal ini semakin menguatkan tekanan pada pemerintah untuk segera melakukan reformasi ekonomi khususnya dalam sektor industri.

    Selain faktor dari dalam pemerintahan, reformasi juga dirasa perlu dilakukan karena adanya tekanan internasional bahwa China harus menyesuaikan kebijakannya yang berbasis pasar agar dapat bersaing dan bisa menghadapi risiko gesekan dengan WTO dan terutama Amerika Serikat. Sejak pertengahan tahun 1990-an dua reformasi diperkenalkan untuk mencoba mereformasi sektor industri. Yang pertama yaitu pembentukan sistem tanggung jawab manajerial perusahaan dengan diatur oleh pemerintah. Yang kedua adalah memperketat hambatan anggaran dengan mengendalikan pinjaman bank.

    Kebijakan-Kebijakan Sektor Industri:

    1. Sistem Pajak (1984)

    Kunci dari program reformasi industri adalah membuat perusahaan lebih bertanggung jawab secara ekonomi dan juga pentingnya pengenalan mengenai retensi keuntungan perusahaan. Pada 1983, sistem pajak diperkenalkan dan kemudian diadopsi dalam keputusan tahun 1984 sebagai kebijakan yang berlaku untuk semua perusahaan. Kebijakan ini dikeluarkan sebagai usaha untuk menstabilkan pendapatan negara dan mendorong perusahaan untuk menjadi lebih bertanggung jawab secara fiskal.

    1. Sistem Manajerial Pabrik (1986)

    Secara administratif manajer pabrik dan perusahaan diberikan kekuatan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan sehubungan dengan rencana produksi dan pemasaran, sumber pasokan, distribusi keuntungan dalam perusahaan hingga perekrutan dan pemecatan tenaga kerja. Namun kebijakan ini memunculkan perdebatan dikarenakan manajerial perusahaan masih dibawah kontrol partai. Pada 1986 dikeluarkan kebijakan sistem tanggung jawab manajerial dimana manajer perusahaan secara independen menangani masalah internal tanpa harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan komite partai untuk mendapat persetujuan.

    1. Peraturan Ketenagakerjaan (1986)

    Pemerintah mengubah sistem upah dengan menaikkan upah dan menghimbau perusahaan untuk memberikan bonus bagi pekerja. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan produktivitas pekerja. Pada Oktober 1986, undang-undang kontrak tenaga kerja baru dan peraturan pelengkap diperkenalkan untuk mengatasi perekrutan dan pemecatan karyawan yang tidak disiplin.

    1. Desentralisasi

    Selain perusahaan diberikan kekuatan yang lebih besar begitu pula dengan pemerintah daerah. Pemerintah daerah diberi otonomi untuk mengontrol perekonomian di daerahnya masing-masing dengan membuat kebijakan terkait investasi asing dan ekspor maupun impor.

    1. Industri Ringan dan Industri Berat

    Restrukturisasi juga dilakukan kepada industri ringan yang diberikan porsi hukum sama dengan industri berat. Investasi di sektor industri ringan diberikan porsi yang seimbang dengan sektor industri berat. Hal ini dilakukan sebagai usaha agar dapat mendorong pertumbuhan industri ringan yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat juga sebagai upaya efisiensi energi dimana industri ringan hanya mengkonsumsi sedikit energi.

    Cina mengalami inflasi yang cukup pada akhir tahun 1980-an hingga pertengahan 1990-an. Inflasi ini dipicu oleh mekanisme pasar yang tidak memadai. Perusahaan terus meningkatkan produksi industri terlalu jauh sehingga terjadi masalah ketidakseimbangan dalam pasar. Masalah ekonomi diperparah dengan sektor BUMN yang semakin turun. BUMN sendiri menyerap 60% dari investasi nasional namun BUMN masih belum mampu meningkatkan pendapatan. Akibat penurunan pendapatan, BUMN tidak mampu memenuhi kewajiban seperti pembayaran gaji. Pemerintah pada akhirnya mengeluarkan kebijakan untuk memaksa BUMN menjadi lebih berorientasi pada pasar tanpa harus menggantungkan ekspektasi pada negara. Pada akhir tahun 1990-an, pemerintah mengubah BUMN besar untuk memegang saham atau berbentuk swasta dan menekankan pada sistem kepemilikan campuran. Hal ini dilakukan untuk menarik investor asing dalam upaya menghadapi persaingan pasar.

    Pada 1 Juli 2001 ketika Jiang Zemin menyambut pengusaha swasta untuk bergabung dengan partai. Perubahan kebijakan juga telah diperkenalkan untuk mendorong sektor ini. Lebih banyak lisensi ekspor telah diberikan kepada perusahaan swasta, memungkinkan mereka untuk memperoleh valuta asing. Pada tahun 2002 Komisi Pembangunan dan Perencanaan Negara menghapus sejumlah pembatasan investasi oleh perusahaan swasta. Namun perusahaan sering melihat reformasi sebagai undangan untuk mengembangkan monopoli yang bergantung pada koneksi politik untuk memastikan akses istimewa ke pendanaan. Selain itu, banyak dari perusahaan besar yang benar-benar menguntungkan dipaksa untuk mengambil perusahaan kecil yang akan bangkrut tanpa perlindungan tersebut.

    Reformasi Sektor Finansial

    Reformasi keuangan pada tahun 1980-an tidak begitu dianggap sebagai bagian dari reformasi ekonomi, dan jika dianggap hanya ditafsirkan dalam artian sempit yaitu reformasi perbankan. Keberhasilan reformasi ekonomi secara umum dan reformasi BUMN secara khusus dapat ditunjang dari restrukturisasi sector perbankan dan keuangan. Bank pada system fiscal yang lemah pada dasarnya digunakan untuk memenuhi tujuan pembangunan negara. Namun, pada tahun 1990-an dilakukan perombakan sector ini.

    Aset keuangan di China pada dasarnya terkonsentrasi dalam sistem perbankan karena pasar modal kecil dan pinjaman bank merupakan sumber modal paling penting bagi perusahaan. Pada tahun 1994, sistem perbankan di China dibagi menjadi tiga jenis bank yang memiliki peran terbatas: 1. bank komersial 2. bank kebijakan 3. bank koperasi. Ada pula, empat bank utama dengan kapasitas lebih besar untuk memberikan pinjaman secara komersial : 1. Bank Industri dan Komersial, Bank Tiongkok 2. Bank Konstruksi Tiongkok, 3. Bank Pertanian Tiongkok

    Terdapat tiga bank khusus untuk pinjaman langsung dibawah amanat pemerintah : 1. Bank Pembangunan China 2. Bank Pembangunan Pertanian 3. Bank Impor Ekspor China

    Perdana Menteri Zhu Rongji melakukan reformasi terhadap semua badan usaha milik negara (BUMN) pada periodenya 1998. Sejak Zhu mengambil alih tanggung jawab untuk reformasi sektor ini banyak kemajuan besar yang dibuat. Zhu menggerakkan serangkaian reformasi yang dirancang untuk membebaskan bank-bank negara dari politik lokal, untuk memungkinkan Bank Sentral memainkan lebih banyak peran pengaturan. Langkah pertama yang diluncurkan adalah perombakan sistem perbankan, yang intinya adalah reorganisasi cabang lokal Bank Rakyat. Bank Rakyat Tiongkok menunjukkan kebolehannya pada tahun 1998 dan 1999 ketika pindah untuk menutup Perusahaan Kepercayaan dan Investasi Internasional Guangdong yang bangkrut. Perusahaan semacam itu, yang jumlahnya sekitar 200 di Cina, didirikan terutama untuk mengumpulkan modal asing untuk keperluan domestik.

    Dalam reformasi ini masalah besar tetap ada dimana bank-bank milik negara masih ceroboh dalam manajemen keuangan. Menurut laporannya, dua bank menahan 10,1 miliar yuan dalam aset yang tidak tercatat dan 790 juta yuan dalam kas kecil yang dikatakan telah merugikan negara 10 miliar yuan. Dari masalah tersebut, Dewan Negara mengirimkan tim inspeksi untuk memantau kinerja lembaga keuangan negara. Kemudian pada tahun 2003 dibentuklah Komisi Pengaturan Perbankan China oleh NPC sebagai organisasi pengawas untuk bank-bank negara. Tugas- tugasnya ialah : 1. membantu bank-bank negara 2. meningkatkan tata kelola perusahaan 3. mengalihkan pinjaman ke kriteria komersial 4. mengintensifkan upaya untuk memulihkan pinjaman bermasalah (NPL). Upaya untuk mendapatkan NPL dari pembukuan dilakukan melalui Komite Manajemen Aset (AMC) yang ada di masing-masing empat bank komersial. Namun, ternyata program ini tidak berhasil bahwa rekapitalisasi bank dan transfer AMC belum menyelesaikan masalah NPL. Disisi lain, AMC juga mengalami masalah dengan pengembalian uang tunai yang berada di bawah kewajiban bunga mereka, sehingga menciptakan tekanan arus kas. Pemerintah melakukan pemulihan aset dan ini menyebabkan lelang NPL internasional pertama China. Stainfeld mengemukakan pada akhir tahun 1999 bahwa AMC memiliki sedikit kapasitas atau kekuatan untuk mengatur kembali BUMN.

    Bottelier memprediksikan bahwa untuk mempersiapkan bank-banknya dalam kompetisi internasional, China harus mempercepat liberalisasi suku bunga domestik, integrasi penuh antara pasar modal dan domestic, dan mempercepat menuju konektifitas mata uang. Secara finansial hal tersebut mungkin mampu dilakukan, apalagi dalam istilah internasional utang publik Tiongkok yang terkonsolidasi tidak terlalu buruk. Dengan demikian meskipun ada kemajuan pesat dalam reformasi ekonomi, tidak dipungkiri pemimpin Tiongkok tetap akan menghadapi tantangan besar di masa depan.

    Ekonomi Republik Rakyat Tiongkok

    Ekonomi Republik Rakyat China ialah ekonomi kedua terbesar di dunia dari segi KDNK nominal dan ekonomi terbesar di dunia berdasarkan KDNK PPP. Ia merupakan ekonomi utama dunia yang pesat berkembang, dengan purata pertumbuhan ekonomi 10% untuk 30 tahun yang lepas.

    China juga merupakan pengeksport terbesar dan pengimport kedua terbesar barangan di dunia. Enam rakan dagangan utamanya (A.S., Jepun, Hong Kong, Korea Selatan, Taiwan, Jerman) membentuk lebih 50% daripada jumlah perdagangan antarabangsa Tiongkok .

    Latar belakang 

    Parti Komunis Tiongkok (CCP) memformulasikan dasar ekonominya sebagai sesuatu yang sosialis ‘dengan karekter China’. Dimulai dengan tahun 1978 kepemimpinan China telah mereformasikan sektor ekonominya daripada suatu yang berasaskan sistem ekonomi kawasan pusat ala Soviet kepada sesuatu yang lebih kapitalis akan tetapi masih di bawah kawalan politik CCP. Kearah ini pentadbiran menukar ke sistem responsibility para keluarga dalam pertanian dalam penggantian sistem lama yang berasaskan penggabungan, menambah kuasa pegawai tempatan dan pengurus kilang dalam industri, dan membenarkan pelbagai pengusahawanan dalam servis dan perkilangan ringan, dan membuka ekonomi kepada perdagangan dan pelaburan luar. Kawalan harga juga telah dilonggarkan. Ini telah mewujudkan penukaran sistem ekonomi berasaskan komunis kepada sistem ekonomi campuran komunis dan kapitalis.

    Kerajaan PRC tidak suka menekankan kesamarataan apabila ia mula membangunkan ekonominya, sebaliknya ia menekankan kenaikan taraf pendapatan peribadi dan kebolehan membuat pembelian dan mewujudkan sistem-sistem pengurusan baru untuk meningkatkan produktiviti. Kerajaan juga meng fokus kepada perdagangan antarabangsa sebagai salah satu cara untuk meningkatkan sektor ekonomi, dengan ini ia mewujudkan lebih daripada 2,000 Zon Ekonomi Khas (SEZ) dimana undang-undang mengawal pelaburan telah dilonggarkan untuk menarik pelabur asing. Hasilnya adalah KDNK per kapita yang bertambah empat kali ganda sejak tahun 1978. Pada tahun 1999 pula, dengan jumlah penduduk 1.25 billion dan KDNK yang hanya AS$3,800 per kapita, PRC menjadi ekonomi keenam terbesar di dunia dalam pertukaran wang asing dan ketiga terbesar di dunia selepas Kesatuan Eropah dan Amerika Syarikat daripada segi kuasa pembelian. Purata pendapatan biasa seorang pekerja China adalah AS$1,300. Perkembangan ekonomi negara ini pula dikatakan adalah terpantas di dunia, dengan pertumbuhan mencecah 8% setiap tahun mengikut statistik kerajaannya. Ini menjadikan China sebagai fokus utama dunia pada masa kini dengan hampir semua negara, termasuk negara Barat yang mengkritik China, ingin sekali menjalinkan hubungan perdagangan dengannya. Tiongkok kini adalah ahli Pertubuhan Perdagangan Sedunia (WTO).

    Tanah besar Tiongkok mendapat reputasi sebagai tempat yang berkos rendah untuk menjalankan aktiviti perkilangan, dan ketiadaan persatuan sekerja amat menarik bagi pengurus-pengurus syarikat asing. Seorang pekerja tanpa kemahiran di sebuah kilang Tiongkok di kawasan kampung menelan belanja yang serendah kurang daripada AS$1/jam, amat kurang berbanding AS$/jam di Amerika Syarikat. Pekerja-pekerja China ini seringkali terpaksa bekerja teruk di kawasan berbahaya dan mudah ditindas majikan kerana tiada undang-undang dan persatuan sekerja yang boleh melindungi hak mereka.

    Kos rendah bahan mentah merupakan satu lagi aspek ekonomi Tiongkok . Ini disebabkan persekitaran kompetitif yang menyebabkan hasil berlebihan yang turut mendirikan kos pembelian bahan mentah. Ada juga kewujudan kawalan harga dan jaminan sumber-sumber yang tinggal daripada sistem ekonomi lama berasaskan Soviet. Apabila negara terus menswastakan syarikat-syarikat miliknya dan pekerja berpindah ke sektor yang lebih menguntungkan, deflationary effect ini akan terus menambahkan tekanan ke atas harga dalam ekonomi.

    Insentif-insentif cukai turut diberikan sebagai bantuan kewangan kepada sektor perkilangan di China, sama ada untuk barang ekspor ataupun barangan untuk pasaran tempatan. China cuba mengharmoniskan sistem cukai dan duti yang ia meletakkan keatas kedua-dua pelabur asing dan pengusaha tempatan. Sebagai hasil, potongan cukai dan duti istimewa yang dinikmati pengeksport di zon ekonomi khas dan bandar persisiran pantai akan dilihat semula. Eksport China ke Amerika Syarikat adalah AS$125 bilion pada tahun 2002 manakala ekspor Amerika ke China hanyalah sebanyak AS$19 juta sahaja. Perbezaan jurang yang besar ini meningkatkan kemarahan Amerika Syarikat, akan tetapi bukan salah China yang eksportnya murah dan lebih berkualiti daripada barangan buatan Amerika. Amerika sendiri membeli lebih daripada ia membuat dan sekalipun rakyat China ingin membeli barangan buatan Amerika, mereka tidak dapat melakukan sedemikian kerana harga barangan Amerika terlalu tinggi. Amerika seringkali mendakwa bahawa kadar tukaran wang asing dolar Amerika dan renminbi China yang kononnya tidak adil dan berat sebelah kepada China kerana China mengikat ia kepada kadar tetap lapan renminbi kepada satu dolar. Pada tarikh 21hb Julai 2005, Bank Rakyat China mengumumkan bahawa ia akan membenarkan mata wang renminbi ditentukan oleh pasaran, dan membenarkan kenaikan 0.3% sehari. Eksport negara China ke Amerika Syarikat semakin naik 20% setiap tahun, jauh lebih cepat daripada ekspor Amerika ke China. Dengan pemansuhan kuota tekstil, China sudah tentu akan menguasai sebagian besar pasaran baju dunia

    Pada tahun 2003, KDNK China dalam konteks kuasa pembelian mencapai AS$6.4 triliun, menjadi kedua terbesar di dunia Diakibatkan 2005-07-25 di Wayback Machine. Dengan menggunakan pengiraan konvensional, ia dirangka pada tangga keenam. Dengan penduduknya yang padat ini masih memberikan KDNK per kapita yang sebanyak AS$ 5,000, atau 1/7 daripada Amerika Syarikat. Laporan rasmi kadar pertumbuhan pada tahun 2003 adalah 9.1%. Ia dianggarkan oleh perisik Amerika CIA pada tahun 2002 pertanian menyumbang sebanyak 14.5% GNP China dan sektor perindustrian dan pembinaan pula 51.7% dan perkhidmatan 33.8%. Purata pendapatan luar bandar adalah satu pertiga daripada di dalam bandar, jurang yang semakin membesar dalam dekade belakangan ini.

    Oleh sebab saiznya yang amat luas dan budaya yang amat panjang sejarahnya, China mempunyai tradisi sebagai sebuah negara kuasa ekonomi. Dalam kata Ming Zeng, profesor pengurusan di Shanghai, Dalam sesetengah statistik, pada penghujung abad ke-16 sekalipun, China mempunyai satu pertiga KDNK. Amerika Syarikat yang gagah pada masa kini pula hanya mempunyai 20%. Jadi, jika anda membuat perbandingan sejarah ini, tiga atau empat ratus tahun terdahulu, China tentulah kuasa terbesar dunia. Percubaan mewujudkan semula keadaan yang menbanggakan ini sudah tentu adalah salah suatu matlamat orang China. Maka tidak hairanlah fenomena kebanjiran orang bukan China dunia yang lain mahu mempelajari Bahasa Cina ini dan keturunan Amerika dan Barat terhadap Tiongkok secara amnya berlaku pada senario politik dunia pada hari ini.

    Akan tetapi, jurang pengagihan kekayaan diantara persisiran pantai dan kawasan pendalaman China masih amat besar sekali. Untuk menandingi keadaan yang berpotensi mengundang bahaya ini, kerajaan melaksanakan strategi Pembangunan Bahagian Barat China pada tahun 2000, Pembangunan Semula Tiongkok Timur Laut pada tahun 2003, dan Kenaikan Kawasan Tiongkok Tengah pada tahun 2004, kesemuanya bertujuan membantu kawasan pendalaman China turut membangun bersama.

  • Perdagangan internasional zaman Jawa Kuno

    Perdagangan internasional zaman Jawa Kuno

    Perdagangan kaitannya dengan perkembangan masyarakat yang bersangkutan. Makin kompleks suatu masyarakat maka semakin kompleks pula tata cara perdagangannya. Pada rentang abad ke-7 hingga abad ke-9, kerajaan besar di Nusantara yang ikut andil dalam Perdagangan Internasional yaitu Kerajaan Sriwijaya. Pada saat itu Kerajaan Sriwijaya memegang peranan penting dalam perdagangan Asia. Pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya sering dikunjungi pedagang-pedagang Tiongkok yang akan berlayar ke Timur Tengah dan India dan sebaliknya. Sementara itu, Kerajaan Medang yang berpusat di pedalaman Jawa juga sudah dikunjungi pedagang asing namun belum termasuk dalam jalur perdagangan utama. Selanjutnya, pada abad ke-10 hingga abad ke-14 merupakan masa keemasan perdagangan kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Budha di Pulau Jawa yang disebut sebagai periode Jawa kuno. Periode Jawa kuno memiliki berbagai macam kerajaan sejak masa Kerajaan Medang pada abad ke-8 hingga masa Kerajaan Majapahit abad ke-14.

    Pada rentang abad ke-10 hingga abad ke-13 adalah masa perkembangan perdagangan di Asia yang dipelopori Dinasti Sung di Tiongkok dan Kerajaan Chola di India. Jalur perdagangan antara kedua kerajaan tersebut melewati jalur sutra dan jalur sutra maritim. Jalur sutra maritim melewati Asia Tenggara sehingga kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara turut andil dalam perdagangan internasional. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa. Sejak masa inilah Jawa mulai memperhatikan perdagangan internasional

    Pola perdagangan Kerajaan Medang

    Kerajaan Medang (Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu) merupakan salah satu kerajaan besar yang ada di Nusantara. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-7 di daerah Mataram (kini daerah tersebut secara administratif berada di Jawa Tengah dan Yogyakarta) dan pusat pemerintahannya pindah ke timur pulau Jawa (secara administratif daerah tersebut masuk wilayah Provinsi Jawa Timur) pada abad ke-10. Selanjutnya pusat kerajaan-kerajaan pada masa Jawa kuno berada di Jawa Timur.

    Kerajaan Medang muncul di pulau Jawa memiliki sistem birokrasi yang kompleks. Prasasti-prasasti Kerajaan Medang memberikan berbagai bukti upaya kerajaan untuk mengatur kehidupan rakyatnya di berbagai bidang seperti politik, keagamaan dan ekonomi termasuk di dalamnya kegiatan perdagangan. Pada masa ini pula Kerajaan Medang mengadakan hubungan dagang dengan Tiongkok. hal itu tertulis dalam berita-berita dari Dinasti Tang (618-906 M). Hubungan perdagangan antara Kerajaan Medang dengan Dinasti Tang sangat diperhatikan. Hal itu diwujudkan dengan adanya jabatan Juru Tiongkok yaitu pejabat yang mengurusi orang-orang Tiongkok di Kerajaan Medang.Hasil dari hubungan dengan Tiongkok tersebut dapat dilihat dari tersebarnya keramik-keramik Tiongkok Dinasti Tang di sekitar candi-candi peninggalan Kerajaan Medang yang terletak di pedalaman Jawa. Hal ini menunjukkan distribusi barang impor yang sampai ke pedalaman

    Hubungan dagang dengan wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa tentu membutuhkan sarana transportasi yang memadai. Berita-berita Tiongkok menunjukkan bahwa sejak masa Kerajaan Medang, orang-orang Jawa sudah berlayar ke pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok dengan kapal milik mereka sendiri. Relief kapal di Candi Borobudur yang dibangun pada abad 9 menggambarkan kapal yang sedang berlayar di laut dengan jumlah awak kapal yang cukup banyak. Bentuk kapal tersebut sangat berbeda dengan kapal tipe Tiongkok. Pada saat itu, Pulau Jawa yang merupakan daerah kekuasaan Medang juga didatangi orang-orang dari Asia Selatan dan Asia Tenggara daratan untuk berdagang seperti mpa, Kli, Harinya, Si ha, Gola, Cwalik, Malyal, Karn nake, R man dan Kmir.Prasasti-prasasti yang menunjukkan adanya pedagang asing di wilayah Kerajaan Medang yaitu Prasasti Kuti, Prasasti Kaladi (909 M) dan Prasasti Pal Buhan (927 M) ditemukan di daerah yang kini disebut Jawa Timur. Bukti-bukti di atas menunjukkan bahwa Kerajaan Medang Kuno telah mengadakan hubungan ekonomi dengan negara-negara lain.

    Dalam hal perdagangan, Kerajaan Medang membagi daerahnya menjadi dua bagian yaitu pusat agraria di pedalaman Jawa dan pusat perdagangan di daerah timur Pulau Jawa.

    Pusat agraria di pedalaman Jawa

    Ketika masih berpusat di pedalaman Jawa pada abad ke-7 hingga abad ke-10, Kerajaan Medang merupakan kerajaan agraris yang mengutamakan pengamanan tata pemerintahan dalam negeri dan pemberian kebebasan penuh pada penguasa daerah.Sementara itu prasasti-prasasti yang dikeluarkan pada masa ini menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi bergerak dari bawah didominasi oleh perdagangan internal antar desa. Pemerintah Kerajaan Medang belum mengembangkan perdagangan ke luar pulau secara masif. Penghasilan kerajaan lebih banyak digunakan dalam pendirian bangunan keagamaan yang megah.

    Pusat perdagangan di Jawa Timur

    Pada abad ke-10 pusat pemerintahan Kerajaan Medang berpindah ke Jawa Timur. Setelah perpindahan ini, pengaruh perkembangan perdagangan Asia semakin meningkat. Selama abad ke-7 sampai dengan abad ke-12, daerah Jawa bagian timur khususnya daerah pantai utara menunjukkan peningkatan aktivitas perdagangan. Pada periode ini sangat banyak prasasti yang isinya menunjukkan kegiatan perdagangan internasional di sekitar Sungai Brantas, terutama di sekitar pantai.si.Oleh karena itu, Kerajaan Medang mulai memperhatikan perdagangan sebagai aspek ekonomi.

    Penyebab kebangkitan perdagangan di Pulau Jawa

     

    Secara garis besar, ada dua penyebab bangkitnya perdagangan di Pulau Jawa yaitu melengkapi komoditas perdagangannya dan mundurnya perdagangan Sriwijaya.

    Melengkapi komoditas perdagangan

    Pada pertengahan abad ke-10, Asia ditandai dengan perkembangan perdagangan besar-besaran yang dipelopori oleh Dinasti Sung (960-1279 M) dari daratan Tiongkok dan Kerajaan Cola di India selatan. Perkembangan ini berpengaruh pada kerajaan-kerajaan besar di Asia Tenggara seperti Sriwijaya di Sumatra, Kerajaan Medang, Kerajaan Kahuripan, Kerajaan Kediri hingga Kerajaan Majapahit di Jawa. Masing-masing mempunyai keunggulan. Sriwijaya mempunyai keuntungan dapat memegang kontrol perdagangan transit internasional di Selat Malaka dan ekspor dari pedalaman Sumatra serta Semenanjung Malaka. Sementara itu beberapa kerajaan di Pulau Jawa memegang kontrol perdagangan dengan Laut Banda dalam perdagangan rempah-rempah dari Maluku dan kayu cendana dari Timor. Pada masa selanjutnya dapat diperkirakan bahwa tujuan utama kedatangan pedagang asing tersebut adalah mencari rempah-rempah.

    Pada saat itu Jawa mulai mengimbangi kekuatan Sriwijaya dalam perdagangan di Asia meskipun letak pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya lebih mudah dijangkau oleh pedagang dari Asia daratan. Hal ini disebabkan karena Jawa mempunyai persediaan barang-barang yang lebih lengkap termasuk rempah-rempah dari daerah-daerah timur.seperti Maluku dan Kepulauan Nusa Tenggara. Kitab Ling-wai Tai-ta menyebutkan bahwa She-po mempunyai komoditas yang terlengkap setelah Ta-shih (Arab) sedangkan San-fo-tsi (Sriwijaya) berada di peringkat ketiga setelah She-po (Jawa)

    Perdagangan Sriwijaya mengalami kemunduran

    Perdagangan Kerajaan Sriwijaya berkembang lebih dulu daripada kerajaan-kerajaan di Jawa khususnya Kerajaan Medang. Hal ini disebabkan perbedaan struktur ekonomi di antara kedua wilayah tersebut. Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim yang sangat memperhatikan aktivitas ekonomi di daerah pantai. Kebijakan-kebijakan perdagangan dalam skala besar diatur dan ditentukan oleh kerajaan. Sriwijaya yang terletak di Sumatra juga didukung dengan keberadaan sungai-sungai yang menjadi jalur perdagangan kala itu. Sungai-sungai tersebut dapat dilayari kapal-kapal besar sampai ke pedalaman Sumatra dan lebih besar daripada sungai-sungai di Jawa. Selain itu, lokasi ibu kota Kerajaan Sriwijaya dekat dengan pantai dan berada di daerah aliran Sungai Musi. Hal ini tentu mempermudah akses dari pusat ke daerah pelabuhan idan membuat kerajaan lebih mudah mengendalikan kegiatan perdagangan di pelabuhan.

    Untuk mengendalikan kegiatan perdagangan di pelabuhan, pemerintah Kerajaan Sriwijaya bertindak sangat tegas terhadap penguasa daerah, terutama daerah yang mempunyai pelabuhan. Hal itu disebutkan dalam beberapa prasasti Sriwijaya seperti Prasasti Kota Kapur 608 Saka (686 Masehi) dan Prasasti Karang Brahi yang berisi kutukan yang ditujukan pada keluarga raja bawahan. Hal ini disebabkan sumber devisa kerajaan berasal dari perdagangan dan untuk memastikan hal tersebut berjalan, kerajaan harus menguasai jalur-jalur perdagangan dan mengawasi pelabuhan sebagai tempat penimbunan barang-barang sebelum dan sesudah diperdagangkan. Namun mendekati abad ke-12 pengendalian jalur perdagangan dan pengawasan pelabuhan tidak berhasil lagi dan beberapa daerah pelabuhan mulai memisahkan diri dari Sriwijaya. Daerah bawahan Sriwijaya seperti Semenanjung Malaya dan Jambi mulai mengirim utusan sendiri ke Tiongkok. Daerah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya yang terpecah tentu berpengaruh terhadap stabilitas politik kerajaan dan perekonomiannya dan menyebabkan Jawa mulai mengimbangi perdagangan Sriwijaya di Nusantara

    Mitra dagang

    Data prasasti maupun berita Tiongkok memberi gambaran bahwa sebelum masa Majapahit telah terjadi perdagangan antar desa (lokal), antar wilayah (regional) dan internasional. Dalam hubungan tersebut, jalur darat maupun jalur sungai merupakan sarana penting bagi terlaksananya hubungan antara daerah pedalaman dengan daerah kota, antara kota dan daerah sekitarnya maupun kota satu dengan kota lainnya. Hubungan antar wilayah (regional) dan internasional menggunakan jalur laut sebagai sarana utamanya.

    Pulau-pulau di Nusantara

    Para pedagang dari wilayah Nusantara pada umumnya tidak disebutkan asal daerahnya. Kehadiran mereka di Jawa hanya dapat disimpulkan secara tidak langsung dari sumber-sumber prasasti. Prasasti Gondosuli II (927 M) yang berbahasa Melayu Kuno menyebutkan seorang tokoh bernama da puhawa Glis. Menurut Zoetmulder, puhawa berarti nakhoda atau kapten kapal. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-10 telah ada komunitas pedagang Melayu yang tinggal di pedalaman Jawa Tengah

    Hubungan ini ditengarai berlanjut hingga ketika pusat kerajaan berpindah ke Jawa Timur. Perdagangan antara Jawa dengan pulau-pulau di sekitarnya digambarkan dalam Prasasti Kamalagyan 959 Ç. Di dalamnya disebutkan bahwa setelah bendungan di Kamalagyan dibangun, orang-orang di sekitarnya dapat berperahu ke hulu untuk mengambil barang dagangan di pelabuhan Hujung Galuh. Di pelabuhan ini mereka dapat berdagang dengan para pedagang dari pulau lain (para puh wa para ban ga sa ri dw ntara). Prasasti ini tidak menyebutkan nama daerah asal para pedagang tersebut namun diperkirakan sebagian dari para pedagang tersebut berasal dari pulau-pulau yang terdekat dengan Jawa, antara lain Pulau Sumatra dan Pulau Bali. Pada saat itu, Pulau Jawa sudah sering didatangi pedagang-pedagang dari Pulau Sumatra. Chau-ju-kua mengatakan bahwa Kerajaan Sriwijaya berhubungan dengan daerah Jung-ya-lu (Chung-kia-lu) yang ada di Jawa. Namun letak daerah ini belum diketahui secara pasti.

    Hubungan Jawa dengan Sriwijaya sudah terjadi sejak lama. Meskipun terjadi hubungan dagang yang berlangsung sejak lama, sumber-sumber tertulis di Jawa lebih memperlihatkan persaingan antara keduanya baik dalam bidang politik maupun perdagangan. Konflik ini dimulai sejak berdirinya kerajaan Sriwijaya dan berlanjut sampai beberapa abad selanjutnya.

    Hubungan politik tersebut tampak pada temuan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa sebagai bukti intervensi Sumatra ke Jawa. Salah satunya Prasasti Gondosuli 749 Ç (827 M). Prasasti Gondosuli menyebutkan seorang nakhkoda kapal (da puh wa glis) yang memberi persembahan kepada bangunan suci. Isi prasasti tersebut memberikan petunjuk adanya komunitas orang-orang Melayu di Jawa. Jika saat itu pelayaran antara Jawa dan Sumatra sudah biasa dilakukan, hubungan dagang kemungkinan juga sudah terjadi, apalagi mungkin di pelabuhan Sumatra terdapat beberapa barang yang tidak diperoleh di Jawa.

    Data-data tertulis tidak pernah menyebutkan hubungan dagang antara Jawa dengan Semenanjung Malaka. Namun berdasarkan catatan orang Portugis dari tahun 1511 M, banyak orang Jawa yang tinggal di Malaka, bahkan ada pedagang Jawa yang bisa memiliki ribuan budak. Keadaan seperti ini tentu tidak dapat berlangsung dengan cepat tetapi melalui hubungan yang berlangsung sejak lama. Ada kemungkinan hubungan tersebut sudah berlangsung sebelum masa Majapahit.

    Sementara itu, Jawa dan Bali mempunyai hubungan yang berlangsung sejak lama, bahkan pada masa Raja Dharmawangsa Tguh, Bali berada di bawah pengaruh Jawa. Selain hubungan politik, Jawa dan Bali juga terlibat dalam hubungan ekonomi yang erat. Hal ini dibuktikan dengan adanya kesamaan sebutan mata uang dari sejumlah prasasti di Jawa dan Bali seperti mas, masaka, pirak dan sebagainya. Dari penemuan uang kuno di Bali diantaranya ada yang sama dengan uang kuno di Jawa.

    Prasasti Sembiran (1056 M) menyebutkan kedatangan saudagar-saudagar dari seberang yang berkumpul di Manasa (ma kana yan hana banyaga sake sabera jong, camenduk i manasa). Para pedagang Jawa diperkirakan berada di antara para pedagang tersebut. Dengan adanya pengaruh Jawa terhadap Bali, tentu pelayaran antar kedua pulau merupakan hal yang biasa dilakukan. Selain itu, kesamaan ukuran mata uang dapat mempermudah transaksi. Namun tidak ada informasi tentang komoditas yang diperdagangkan.

    Berita-berita Tiongkok dari Dinasti Sung sering mengatakan bahwa sebagian barang-barang yang diekspor Jawa merupakan produk dari daerah-daerah jajahannya. Hal ini menunjukkan bahwa Jawa juga berdagang dengan pulau-pulau lain di Nusantara, antara lain perdagangan rempah-rempah dengan kepulauan Maluku dan kayu cendana dengan Nusa Tenggara. Namun belum ada bukti tertulis tentang bagaimana produk-produk tersebut mencapai daerah Asia Tenggara.

    Dalam catatan Chau ju-kua disebutkan tentang pala yang dihasilkan di Pulau Huang-ma-chu dan Niu-lun, jajahan Jawa. Pulau-pulau tersebut adalah Maluku. Karena hanya mendengar informasi dari para pedagang, Chau ju-kua tidak mengetahui secara pasti tantang hal itu. Kepulauan Maluku kemungkinan tidak dijajah Jawa, tetapi kapal-kapal dari Jawa datang ke Maluku untuk mengambil rempah-rempah dan ditukar dengan beras. Jadi hubungan yang terjadi adalah hubungan perdagangan.

    Asia Tenggara

    Negara-negara Asia Tenggara yang disebutkan dalam prasasti antara lain Khmer, R n, dan Champa. Negara-negara tersebut mempunyai hubungan dagang dengan Jawa seperti yang ditunjukkan dalam Prasasti Taji (901 M). Prasasti Cane 943 Ç (1021 M), Prasasti Patakan, Prasasti Turun Hyang dan Prasasti Garaman 975 Ç ( 1053 M) juga menyebutkan komunitas orang-orang dari Khmer, R n, dan Champa yang berada di Jawa.

    Kerajaan Campa menempati daerah Vietnam tengah dan bagian utara wilayah Vietnam Selatan sekarang. Wilayah ini dikuasai pada sekitar abad 9 sampai abad 10 sebelum terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Data epigrafis dan arkeologis menunjukkan adanya hubungan politik antara Champa dengan Jawa antara lain terjadinya penyerangan Jawa ke Champa pada tahun 787 M hingga 802 M. Selain itu, Jawa juga mempunyai pengaruh dalam kesenian Campa pada masa itu. Pengaruh Jawa di antara lain terdapat di Candi Khu’ong-my berupa hiasan gaya baru berupa daun-daunan rindang yang berbelit-belit. Letak Champa yang berada di jalur lintasan teknik perunggu yang terbentang dari Tiongkok Utara sampai ke kepulauan Nusantara termasuk Jawa menunjukkan adanya jalur pelayaran maritim pada masa prasejarah dan berkembang menjadi perdagangan pada masa selanjutnya seperti yang disebutkan dalam teks-teks Arab.

    Selain Champa, di Jawa terdapat juga pedagang dari Khmer (Kamboja) dan R men (Pegu) yang berada di wilayah Birma. Keberadaan orang Khmer dikisahkan dalam Prasasti Wurudu Kidul 922 M. Prasasti Wurudu Kidul menyebutkan seorang warga desa Wurudu Kidul bernama Sang Dhanadi menolak untuk membayar pajak orang asing karena dia bukan seorang Khmer seperti yang dituduhkan. Isi prasasti tersebut menunjukkan kenyataan bahwa orang Khmer telah menetap di daerah pedalaman Jawa pada periode Kerajaan Medang ketika masih berpusat di Jawa Tengah.

    Negara-negara di Asia Tenggara pada umumnya memiliki komoditas yang hampir sama, terutama hasil bumi. Namun dilihat dari keberadaan para pedagang tersebut di Jawa bahkan dalam waktu yang lama, tidak tertutup kemungkinan terjadi pertukaran barang-barang yang khas dari negeri masing-masing. Hubungan dagang dengan negara-negara Asia Tenggara daratan ini tidak dapat dijelaskan lebih lanjut karena selain prasasti dari masa Airlangga dan Mapañji Garasakan, tidak terdapat data tertulis lainnya.

    Asia Selatan

    Kepulauan nusantara membentang di sebelah timur India sebagai kelanjutan dari daratan Asia Tenggara. Dengan teknologi pelayaran yang telah dikembangkan dalam pelayaran ke Asia Barat, tidak terlalu sulit untuk mengembangkan pelayaran pantai sepanjang pesisir Asia Tenggara menjadi pelayaran samudra yang langsung menyeberangi Samudra Hindia ke Sumatra.

    Nama-nama negara di Asia Tenggara sering disebut dalam kitab-kitab kuno di India. Beberapa diantaranya yaitu Suvarnabh mi dan Yavadv pa yang mengacu pada nama Sumatra. Sementara itu, prasasti-prasasti di Jawa seperti Prasasti Kuti, Prasati Kaladi dan Prasasti Pal buhan menuliskan berbagai kerajaan di Asia Selatan mulai dari abad ke-9.  Daerah-daerah tersebut tertulis lagi dalam prasasti-prasasti Airlangga yaitu ling (Kalingga), rrya (orang-orang India Utara), singhala (Srilanka), pan ikira, rawida (Dravida di India Selatan, malyala (Malayalam, daerah di India Selatan), dan karnnataka (karnnake). Dalam prasasti Garaman yang dikeluarkan tahun 1053 M pada masa pemerintahan Mapañji Garasakan, daftar tersebut bertambah dengan disebutnya daerah Cwalika atau Tamil.

    Terdapat dua tipe pedagang India di Asia Tenggara. Pertama, pedagang aristokrat yaitu pedagang besar dan berstatus sosial tinggi. Jumlahnya sedikit dan membangun pemukiman di beberapa daerah di Asia Tenggara. Kelompok ini diduga berperan mengembangkan kebudayaan Hindu Budha ke wilayah perdagangannya di Asia Tenggara. Kedua, pedagang keliling yaitu pedagang yang lebih rendah statusnya dan merupakan mayoritas dalam komunitas pedagang India di Asia Tenggara. Kelompok yang merupakan tipe pedagang keliling dan tidak berpendidikan tinggi ini melakukan pelayaran dari Laut India menuju Asia Tenggara dan membentuk pemukiman di sekitar pelabuhan yang dituju.

    Kelompok kedua inilah yang paling sering disebut dalam prasasti-prasasti masa Airlangga. Sebagian besar wilayah asal dari orang-orang Asia Selatan tersebut adalah wilayah India Selatan, yaitu di sepanjang pantai. Wilayahnya yang strategis untuk berdagang membuat orang-orang India Selatan lebih mudah berlayar dari pelabuhan ke pelabuhan sebagai pedagang keliling daripada pedagang aristokrat yang sangat mementingkan status.

    Pada perkembangan selanjutnya, para pedagang dari India bersama dengan pedagang Arab dan Persia, juga berperan menyebarkan agama Islam di Asia Tenggara termasuk di Jawa. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan nisan-nisan kuno di Jawa yang gaya tulisannya mirip gaya tulisan dari Gujarat atau Cambay. Contohnya, Nisan kuno pada makam Fatimah binti Maimun menggunakan huruf bergaya kufi yang hanya diperoleh dengan cara impor dari Gujarat atau Cambay karena makam –makam di Indonesia biasanya menggunakan tulisan gaya naskh. Berdasarkan angka tahun yang tercantum pada nisan (1082 M), komunitas pedagang tersebut hidup di Jawa pada masa Kerajaan Kediri. Namun data tertulis lainnya yang dapat menjelaskan lebih lanjut mengenai komunitas pedagang tersebut tidak ditemukan.

    Tiongkok

    Ketika orang-orang Tiongkok mulai memperhatikan daerah selatan, negara pertama yang dikunjungi adalah bagian utara Annam, menyusuri pantainya kemudian sampai di Kamboja dan diteruskan sampai Teluk Siam. Setelah itu mereka sampai di pantai Semenanjung Malaya. Dari pantai Semenanjung Malaya orang-orang Tiongkok mulai mengetahui jalan ke Sumatra dan Jawa. Berdasarkan data arkeologis, hubungan antara Tiongkok dengan Nusantara terjadi dalam waktu yang tidak lama setelah hubungan Tiongkok dengan Asia Daratan yang lebih dulu diketahui.

    Pada awalnya raja-raja Tiongkok kurang berminat terhadap wilayah Asia Tenggara karena wilayah ini dianggap wilayah yang kurang beradab yang terletak jauh dari pusat peradaban Tiongkok di utara. Namun dengan tumbuhnya perdagangan maritim dari Asia Barat ke Tiongkok Selatan yang melalui Nusantara, peranan hasil Asia Tenggara, termasuk hasil dari Kepulauan Indonesia dalam hubungannya dengan perdagangan Tiongkok ikut berkembang.

    Kegiatan perdagangan Jawa dengan Tiongkok secara jelas mulai digambarkan dalam berita dari Dinasti Tang. Di Jawa, nama Tiongkok mulai tercantum dalam Prasasti Kancana 782 Ç. Namun ketika perdagangan Asia sedang ramai pada rentang waktu abad ke-10 sampai abad ke-12, tidak ada satupun prasasti-prasasti di Jawa yang menyebut kerajaan di Tiongkok. Bahkan prasasti dari masa Airlangga yang sering menyebut negara-negara lain di Asia tidak mencantumkan kerajaan di Tiongkok. Sumber tertulis yang menyebutkan Tiongkok hanya Serat Pararaton dan Kidung Harsawijaya yang isinya bukan tentang perdagangan melainkan konflik dengan tentara Tiongkok.

    Sementara itu, data arkeologis juga menunjukkan bahwa hubungan antara Jawa dan Tiongkok secara jelas baru berlangsung sekitar abad ke-9 hingga ke-10 M. Hal ini berdasarkan temuan keramik yang berasal dari zaman Dinasti Tang (618 – 906 M) di sepanjang daerah pantai utara Jawa.Meskipun sangat sedikit data tertulis di Jawa yang mengungkap hubungan dagang antara Jawa dan Tiongkok, tetapi berita-berita Tiongkok terutama dari Dinasti Sung dapat menggambarkan hubungan kedua negara ini. Bangsa Tiongkok memandang Asia Tenggara secara keseluruhan sebagai Laut Selatan dan sering menyebut Jawa dengan nama She-p o atau Sho-p u sampai pada periode kekuasaan Mongol, sebutan ini berubah menjadi Chau-wa. Chau ju-kua mengatakan bahwa kerajaan Sho-po atau Jawa dapat ditempuh dalam waktu sekitar satu bulan pelayaran dari Tsuan-chou. Menjelang abad ke-10 pemerintah Tiongkok mulai menganggap negara-negara di Laut Selatan sebagai wilayah yang sangat penting. Hal ini dibuktikan dengan keterangan dalam Kitab Sung-shih. Dalam kitab tersebut dikatakan bahwa pemerintah Tiongkok mengadakan perombakan birokrasi pejabat perdagangan di pelabuhan dan pengiriman duta ke negara-negara tersebut (Asia Tenggara daratan dan kepulauan) dengan tujuan membujuk pedagang-pedagangnya untuk berkunjung ke pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok Selatan

    Pada akhir abad ke-10, di samping India dan negara-negara Timur Tengah, Tiongkok merupakan negara yang sangat berpengaruh dalam perdagangan lautan di Asia Tenggara . Bagi perdagangan Jawa, Tiongkok sangat penting karena negara ini merupakan konsumen terbesar produk-produk dari Asia Tenggara khususnya produk dari Jawa. Kedudukan Tiongkok juga sangat penting bagi kelangsungan perdagangan internasional pada masa itu. Oleh karena itu, Jawa sangat memperhatikan hubungan baik dengan negara tersebut. Selain alasan ekonomi, Jawa juga mengharapkan perlindungan dari musuh-musuhnya karena Tiongkok merupakan negara besar yang kuat. Hal ini diwujudkan dengan pengiriman utusan dan persembahan yang sering dilakukan oleh-raja-raja Jawa kepada Tiongkok.

     

    Asia Barat

    Kapal dagang Arab mulai memasuki perairan Asia Tenggara sejak awal abad ke-7 M dan berlanjut beberapa abad kemudian. Para pedagang Arab sampai di daerah Asia Tenggara dalam usahanya untuk mencari rempah-rempah dan obat-obatan. Saat itu belum ada data yang membuktikan kedatangan pedagang Arab di Jawa karena prasasti-prasasti di Jawa tidak pernah memuat nama negara-negara ataupun berbagai dinasti di Timur Tengah. Namun perdagangan antara kedua negara ini diperkirakan sudah terjadi pada masa Jawa Kuno. Para pedagang Arab kemungkinan berada di antara para pedagang asing yang datang ke Jawa seperti yang disebutkan Chau-ju-kua.

    Berita Tiongkok menunjukkan kedatangan pedagang negara-negara Ta-shi (Arab) ke Pulau Sumatra. Berita dari Arab dari Al-Idrisi juga menyebutkan pulau Sumatra yang disebut dengan Javaga dan juga pulau-pulau di sekitarnya, tetapi tidak ada yang menyebutkan Jawa secara langsung. Namun barang-barang yang sampai ke Jawa dan minat pedagang Arab terhadap rempah-rempah menunjukkan bahwa pedagang Arab juga terlibat perdagangan dengan pedagang Jawa. Mereka bertemu di beberapa pelabuhan besar di Asia Tenggara. Salah satunya pelabuhan milik Sriwijaya.

    Laporan Chau-ju-kua dan berita Arab tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa terdapat komunitas pedagang Arab di pelabuhan Sriwijaya. Oleh karena itu banyak pedagang Jawa yang pergi ke Sumatra untuk berdagang dengan orang Arab. Menurut De Casparis, para pedagang dari Jawa Timur pergi ke wilayah-wilayah di sebelah timur seperti maluku, Nusa Tenggara dan Sulawesi untuk menukarkan beras dan produk lainnya dengan rempah-rempah dan kayu cendana. Barang-barang tersebut dibawa ke Sriwijaya dan ditukarkan dengan keramik dari Tiongkok, kain dari India dan wangi-wangian dari negara-negara Arab

    Komoditas perdagangan

    Letak Jawa kalah strategis jika dibandingkan dengan Sriwijaya yang merupakan saingan beratnya. Oleh karena itu, Jawa lebih mengandalkan komoditas perdagangan. Catatan Chou-ku-fei (1.178 M) menyebutkan bahwa Jawa lebih kaya dalam barang-barang mewah dan lebih bervariasi meskipun Sriwijaya merupakan pusat perdagangan yang lebih penting dalam hal barang-barang dari barat. Di dalam bukunya Chou-ku-fei mengatakan itu terjadi bukan hanya karena Jawa itu sendiri kaya, tetapi karena itu juga berfungsi sebagai pusat perdagangan bagi pulau-pulau di sebelah timur.

    Prasasti dan naskah di Jawa hampir tidak ada yang menyebutkan barang-barang yang diperdagangkan dengan negara lain. Namun bukti lengkap tentang barang-barang tersebut bisa didapatkan dalam berita-berita asing. Jawa menghasilkan barang-barang yang dapat diekspor tetapi juga membeli barang-barang dari negara lain untuk dijual kembali. Menurut Chau-ju-kua, barang-barang tersebut juga didapatkan dari negara-negara jajahannya baik yang terdapat di Pulau Jawa maupun di pulau lain.

    Komoditas ekspor

    Berita-berita Tiongkok banyak yang menyebutkan hasil bumi dari Jawa yang sering ditemui pedagang Tiongkok yang datang ke Jawa. Hasil bumi tersebut antara lain adalah beras, kacang-kacangan dan buah-buahan seperti pepaya, kelapa, pisang, tebu dan talas dan garam. Bahan-bahan makanan tersebut kemungkinan dibeli oleh pedagang-pedagang asing untuk mengisi perbekalan di kapal. Selain bahan makanan, Jawa juga menghasilkan produk alami yang khusus diperdagangkan seperti barang-barang dari emas dan perak, cula badak, gading, kayu gaharu, kayu cendana, minyak adas manis, buah pinang, belerang dan kayu sapan, kulit penyu, kayu laka dan mutiara. Chau ju-kua juga menyebutkan bahwa Jawa menghasilkan lada, cengkih, kemukus dan kunyit. Meskipun bukan produk asli Jawa, peran rempah-rempah sangat besar dalam memberi keuntungan. Hal ini disebabkan karena beberapa produk lain seperti kayu gaharu dan kayu laka mempunyai kualitas yang paling rendah jika dibandingkan dengan San-fo-tsi (Sriwiyaya) dan Chen-la (Kamboja).

    Berita-berita asing menyebutkan bahwa di Jawa ditemukan berbagai macam rempah-rempah dan kayu cendana. Salah satunya, yaitu lada tersimpan dalam jumlah yang sangat banyak dan disimpan di gudang-gudang. Selain produk dari Pulau Jawa, diperkirakan rempah-rempah dan kayu cendana tersebut juga didapatkan dari Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara.

    Kerajaan Medang di Jawa juga dikenal oleh orang-orang Tiongkok sebagai penghasil barang kerajinan yang berkualitas. Barang-barang tersebut antara lain kain katun, tikar pandan, miniatur rumah dari kayu cendana dan pedang dengan gagang dari cula badak atau emas

    Komoditas impor

    Barang-barang yang diimpor oleh Jawa juga sangat jarang disebut oleh prasasti. Salah satu prasasti yang menyebutkan barang impor yaitu Prasasti Sara an dari masa Sindok. Di dalamnya disebutkan ken bwat lor atau kain buatan daerah utara diantara benda-benda yang dipersembahkan pada pejabat dalam upacara sima. Selain itu dalam prasasti Turyyan disebutkan wdihan bwat kli atau mungkin dapat diartikan suatu kain yang dibuat di India. Jenis-jenis kain tersebut diperkirakan merupakan barang impor yang bernilai tinggi sehingga hanya diberikan kepada pejabat tinggi kerajaan, termasuk raja. Pakaian-pakaian India dan Tiongkok dibeli oleh kalangan elit yang lebih kaya. Kain India disukai karena warnanya yang cemerlang dan pola-polanya yang indah, serta kedudukannya sebagai barang langka. Kadang-kadang kain dari India juga dibawa sebagai persembahan ke negara Tiongkok.

    Berita-berita Tiongkok tidak menyebutkan secara langsung barang-barang asing yang diperdagangkan di Jawa. Namun Chau Ju-Kua menyebutkan bahwa pedagang-pedagang asing melakukan pertukaran dengan menggunakan barang-barang seperti bejana emas dan perak, kain damask (sejenis kain yang tebal) hitam, sinabar, tawas, boraks, arsenik (warangan), keramik, dan barang-barang dari besi dan tembaga. Pada masa Majapahit, pedagang Jawa mengimpor bahan pakaian terutama jubah untuk pendeta dan alat-alat upacara, kemungkinan hal ini sudah berlangsung pada masa sebelumnya sejalan dengan berkembangnya agama Hindu dan Budha di Jawa

    Di antara barang-barang impor tersebut, keramik merupakan barang yang banyak disukai di Jawa dan negara di Asia Tenggara lainnya. Permintaan besar-besaran di Asia Tenggara ini tidak hanya dipenuhi oleh Tiongkok saja tetapi juga dari Asia Tenggara sebelah utara (Kamboja dan Vietnam). Pada akhir abad 12, jumlah keramik impor yang semakin meningkat mulai didatangkan dari tempat pembakaran bertemberatur tinggi di Kamboja dan Vietnam utara. Namun keramik campur kaca berkualitas tinggi dari Tiongkok merupakan barang dagangan utama untuk jarak yang lebih jauh lagi karena dihias dengan indah dan dibakar dengan temperatur yang lebih tinggi daripada tempat pembakaran di Asia Tenggara

    Sistem transaksi

    Dalam masyarakat tradisional, pemimpin atau raja dengan para elit sering bertindak sebagai pedagang. Hal ini terkait tugas diplomatik dan peperangan untuk memperoleh barang atau komoditas yang berasal dari tempat yang jauh. Perdagangan dapat dibedakan menjadi tiga macam:

    • Perdagangan dengan sistem resiprokal yaitu perdagangan yang dilakukan oleh dua belah pihak yang dilandasi oleh hubungan yang bersifat resiprokal dan saling menghormati satu sama lainnya. Hubungan ini biasanya dilakukan dengan suatu upacara, pengiriman duta atau wakil, dan kegiatan politis di antara penguasa. Jenis komoditas yang dipertukarkan adalah barang berharga yang biasanya hanya beredar di kalangan elit.
    • Perdagangan dengan cara redistribusi yaitu perdagangan yang dilakukan melalui proses administrasi dan perjanjian antara pihak-pihak yang terlibat dan dilakukan secara formal oleh kerajaan. Ekspor dan impor barang dilakukan oleh pihak kerajaan. Pemerintah pusat bertindak sebagai manager untuk mengumpulkan hasil produksi dari seluruh wilayah kekuasaannya dan selanjutnya mendistribusikan kembali untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat.
    • Perdagangan dengan sistem pasar yaitu perdagangan ini mempunyai ciri-ciri adanya penawaran dan permintaan yang diatur oleh mekanisme penentuan harga atau standardisasi alat transaksi (mata uang). Dalam perdagangan dengan sistem pasar akan diatur pula secara khusus tentang barang, pergudangan, transportasi dan transaksi.

    Selain itu masih terdapat sistem barter dan perdagangan bisu (silent trade) yang merupakan peralihan dari perdagangan resiprokal ke sistem pasar

    Berdasarkan data tertulis, Kerajaan Mataram Kuno di Jawa menggunakan sistem perdagangan resiprokal maupun perdagangan dengan sistem pasar. Perdagangan resiprokal dapat dilakukan dengan model pertukaran pusat redistribusi dan biasanya dilakukan di pusat oleh para penguasa. Hal ini diwujudkan dengan pengiriman utusan, antara lain ke Tiongkok dan India. Sebaliknya, para pedagang asing juga memberikan hadiah kepada raja di Jawa sebagai permohonan izin untuk berdagang di wilayahnya.

    Perdagangan dengan sistem pasar diperkirakan berlangsung sejak abad ke-3 SM di Asia Tenggara. Hal ini dibuktikan dengan dimanfaatkannya sistem transaksi dengan mata uang pada periode tersebut. Perdagangan ini dapat dilakukan langsung maupun dengan perantara. Perdagangan di Jawa juga sudah menggunakan sistem transaksi dengan uang sejak kerajaan Mataram Kuno masih berpusat di Jawa Tengah. Hal ini dibuktikan dengan temuan arkeologis dan penyebutan nama ukuran mata uang dalam prasasti. Namun berita Tiongkok juga menyebutkan bahwa sistem barter dalam berdagang masih tetap digunakan dalam transaksi dengan pedagang asing meskipun orang-orang Jawa sudah dapat membuat mata uang dari potongan emas dan perak. Mata uang Tiongkok juga digunakan dalam transaksi. Hal ini dibuktikan dalam Chu-fan-chi yang menyebutkan adanya pedagang yang menyelundupkan mata uang perunggu dari Tiongkok